Rabu, 12 September 2012

Nilai dan Sudut Pandang terhadap Kontes Kecantikan


Berselang satu hari setelah penobatan Puteri Indonesia 2009 pada tanggal 9 Oktober kemarin, saya langsung dapat menemukan beberapa buah tulisan pada berbagai blog yang menanggapi hasil dari kemenangan tersebut. Terutama menyangkut fakta bahwa pemenang kali ini merupakan delegasi dari provinsi “Serambi Mekah” yang secara otonomi telah menjalankan syariat Islam. Qory Sandioriva dalam ajang kali ini telah mematahkan tradisi utusan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mengenakan jilbab selama berkompetisi. Hal ini pun sepertinya telah menimbulkan isu bahwa perempuan cantik tersebut rela melepaskan jilbabnya demi mengenakan selempang bertuliskan “Puteri Indonesia 2009″. Namun ada pula yang mengatakan bahwa dari awal Qory memang tidak mengenakan penutup kepala tersebut dalam kesehariannya.
Apapun realitanya, yang akan saya paparkan di bawah ini bukan untuk menilai pantas atau tidaknya seorang perempuan ikut serta dalam sebuah kontes kecantikan. Tulisan ini hanyalah evaluasi dan kritik terhadap cara pandang dan pemberlakuan standar oleh sebagian masyarakat kita yang timpang sebagai respon dari munculnya kontroversi sebuah kontes kecantikan dan pengenaan swimsuit yang dinilai melewati nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Beberapa perbedaan memang didapati dalam hal fokus atau argumentasi sentral dari artikel-artikel dan respon publik yang telah saya baca. Namun dari itu semua, bisa disimpulkan bahwa isu utama yang paling menyita perhatian adalah mengenai definisi kecantikan dan batasan aurat yang sangat lekat dalam diri wanita dan tentunya sangat terekspos oleh sebuah event seperti kontes kecantikan.
Saya mendengar bahwa pada malam grandfinal, Qory sebagai utusan NAD memberikan sebuah jawaban diplomatis bahwa rambut merupakan sebuah keindahan yang untuk itu layak ditunjukkan kepada publik sebagai alasan mengapa dirinya tidak mengenakan jilbab seperti perwakilan NAD di tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal ini saya melihat bahwa kontestan tersebut telah memilih jawaban yang kontroversial. Akan lebih mengurangi perdebatan kiranya bila jawaban yang diberikan lebih realistis dan tidak terkesan melawan prinsip umum ke-Islaman yang cukup kental di sebagian masyarakat kita, terutama di ranah Aceh sendiri. Ditambah lagi dengan pernyataan Charles B. Sirait sebagai MC saat itu juga yang mengemukakan bahwa, “…puteri-puteri Aceh (ternyata) tidak kalah cantiknya dengan puteri-puteri dari daerah lain”, memberi anggapan bahwa kecantikan seorang perempuan dilihat dari seberapa luaskah jangkauan tubuh yang bisa terlihat tanpa selembar kain menutupi. Namun di lain pihak, saya juga melihat adanya komentar oposisi bahwa seorang perempuan berjilbab akan terlihat lebih cantik (atau tidak akan mengurangi kecantikan) secara luar dalam. Sampai sejauh ini, argumentasi yang dihadirkan mengenai korelasi antara jilbab dan kecantikan rasanya cukup aneh. Cantik sendiri merupakan sebuah penilaian yang sifatnya relatif. Penggunaan jilbab memang tidak bisa begitu saja menghilangkan kecantikan si pengguna, namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa semakin terbuka kulit seorang wanita, maka semakin besar pula keindahan yang ditawarkan. Jika secara khusus membawa nilai agama, di dalam Islam sendiri mengenai penutupan aurat tidak membawa pembelaan ataupun semacam “penghiburan” bahwa seorang wanita akan tetap terlihat kecantikannya dari khalayak umum.
Kiranya Islam hanya mendukung kecantikan dihadapan suami, tanpa perlu untuk menghiraukan hal tersebut bagi pandangan umum. Jadi dalam hal ini, menurut saya tidak perlu untuk menaksir nilai kecantikan seorang perempuan yang mengenakan jilbab dan membandingkannya dengan yang tidak menggunakan. Toh, dalam Islam sendiri tidak ada seruan untuk berlomba-lomba tampil menarik di hadapan umum. Kemudian, ada pula yang mencampuradukkan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum dan intelejensia yang seharusnya dimiliki para kontestan sebagai bagian dari prinsip 3B (brain, beauty, and behaviour).
Menurut hemat saya, seorang ratu kecantikan memang tidak dituntun untuk memiliki pengetahuan agama sebagai sebuah keyakinan yang sifatnya lebih personal, apalagi dalam prestasi dan prestise tingkat nasional dari sebuah bangsa plural seperti Indonesia ini. Apapun agama dari sang pemenang tentu saja seorang kontestan Pemilihan Puteri Indonesia akan mengesampingkan isu agama, kecuali jika kontes ini memang ditautkan dengan agama tertentu atau dilaksanakan pada sebuah daerah Islami seperti tanah Aceh sendiri.
Kemudian, seperti yang kita ketahui, selama ini masyarakat selalu bergelut dengan kontroversi dan ketidaksetujuan terhadap keikutsertaan Indonesia yang mengirimkan perwakilan dalam ajang kontes kecantikan tingkat internasional dimana dalam ajang tersebut juga terdapat sesi swimsuit competition baik dalam bentuk pemotetran maupun berjalan di atas catwalk. Terutama sekali, yang sering menjadi sensasi adalah mengenai pengenaan bikini atau two-pieces yang dianggap sangat melewati ‘budaya ketimuran’, dan juga banyak dikaitkan dengan nilai keIslaman yang cenderung tertutup dalam berbusana. Namun dalam hal ini, saya sering melihat bahwa permasalahan terdapat pada sudut pandang kita dalam melihat polemik ini yang beraneka ragam dan cenderung kurang tepat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa yang paling keras menyuarakan penolakan terhadap pemakaian bikini maupun pelaksaan kontes kecantikan yang pada prinsipnya dianggap sebagai bentuk eksploitasi fisik kaum perempuan adalah dari pihak-pihak yang membawa sudut pandang Islam. Ketimpangan terlihat disini ketika batasan-batasan tersebut diterapkan untuk suatu hal yang mengusung budaya nasional.
Negara kita sendiri tidak bisa dikatakan sebagai sebuah negara Islam secara konstitusi, walaupun secara politik bisa dilabelkan sebagai bagian dari ‘the Muslim world’ dimana mayoritas masyarakatnya memeluk agama tersebut. Namun ketika dihadapkan pada polemik berbikini oleh kontestan asal Indonesia, tidaklah sesuai menurut saya jika hal tersebut lantas direspon dengan standar kewanitaan Islam. Di negara kita sendiri yang memberdayakan tatanan pluralisme, nilai-nilai keperempuanan dalam Islam tidak bisa begitu saja diaplikasikan kepada masyarakat maupun acara yang bersifat umum seperti ini. Islam sendiri memang mempunyai batasan yang jelas terhadap gaya berbusana wanita dewasa, yaitu hanya boleh memperlihatkan muka dan kedua tangan karena selebihnya adalah aurat yang hanya boleh dilihat oleh orang-orang tertentu di sekelilingnya. Namun bagaimana batasan oleh negara? Sejauh yang saya ketahui, negara kita sama sekali tidak mempunyai peraturan dan hukum yang jelas untuk mengatur cara berpakaian wanita. Dan bahkan banyak pula yang beranggapan bahwa pemerintah memang tidak seharusnya ikut campur dengan hal-hal yang sifatnya ‘personal’ seperti ini.
Apapun argumentasinya, tetapi yang ingin saya garisbawahi adalah dalam hal menanggapi keterlibatan Indonesia dalam ajang seperti Miss Universe tersebut perlu untuk dipilah dan dicermati standar apa yang patut untuk diterapkan. Akan sangat ruwet bila mencampuradukkan berbagai pandangan dengan pijakan yang berbeda-beda pula. Dan bisa dipastikan, hal ini tidak akan menemukan titik temu namun hanya digiring oleh perubahan budaya yang bergulir.
Selain dari sudut pandang agama, ada pula yang membawa moral dan etika sebagai standar. Hal ini mungkin masih berkaitan dengan agama yang seseorang anut, tetapi tidak bisa dipungkiri jika membawa nilai moral maka ini bisa menjadi suatu polemik dikarenakan tidak ada batasan jelas dan tertulis mengenai apa yang bisa dikategorikan sebagai bermoral maupun tidak bermoral. Lebih ruwet lagi kiranya bila moral dicampuradukkan dengan agama tertentu. Moral adalah suatu pandangan yang masih bersifat umum dan esensinya terpisah dari nilai-nilai yang relijius. Maka ketika seseorang mengusung nilai moral menggunakan prinsip agama tertentu, tentu saja hal ini akan menimbulkan kebuntuan.
Selanjutnya, hal yang saya rasa perlu dikoreksi adalah polemik yang hanya sebagai respon dari sebuah sensasi. Sensasi yang berasal dari suatu hal (dan terkadang tanpa substansi), seringkali menyempitkan pandangan kita untuk melihat hal-hal lain yang bisa dikatakan mempunyai nilai yang setara. Dan kali ini sensasi berputar pada konteks kontes kecantikan yang dianggap sebagai sebuah bentuk eksploitasi terhadap perempuan, dipanaskan lagi oleh kenyataan bahwa delegasi dari provinsi paling barat di Indonesia itu telah berani melawan tradisi untuk menutup aurat sesuai ketentuan dalam Islam. Nilai sensasi sangat kental disini, karena sebetulnya isu-isu seperti ini tidak hanya berlaku pada sebuah pemilihan ratu kecantikan yang utamanya bermodalkan pesona fisik. Sebagai bagian dari dunia hiburan nan glamor nan penuh dengan kepentingan bisnis, ‘pemanfaatan’ dalam hal kecantikan dan kemolekan tubuh juga sangat gampang ditemukan sehari-hari.
Hidupkan saja layar televisi. Maka dari mulai bintang iklan sampai news anchor pun mempunyai kemenarikan wajah sebagai tunjangan. Atau yang lebih nyata, berkunjunglah ke sebuah mal, kafe, atau salon kecantikan, maka akan sangat mudah dijumpai para perempuan berbagai usia yang berusaha untuk terlihat indah oleh mata yang memandangnya. Seperti yang telah saya katakan, disini saya tidak ingin memperdebatkan mengenai pantas atau tidaknya keindahan seorang wanita untuk diumbar. Tetapi sebaiknya dalam hal menilai situasi seperti ini sebaiknya tidak terpengaruh oleh sensasi yang tertuju hanya pada satu hal yang masih hangat diperbincangkan, melainkan melihat pula secara luas dan mengambil contoh-contoh lain sehingga pandangan kita tidak menjadi sempit atau timpang. Khusus untuk isu pornografi misalnya, katakanlah jika Indonesia menarik atau menghentikan perwakilannya untuk berlaga di ajang MU karena adanya pengenaan pakaian renang, akan menjadi aneh kalau saja kita sadar bahwa di negara ini sendiri belum semua hal yang menyangkut pornografi maupun pornoaksi ditiadakan secara konsisten. Andaikan saja anda sebagai seorang asing yang mendengar berita mengenai penarikan delegasi Indonesia pada ajang MU dikarenakan penggunaan bikini yang banyak menuai kecaman. Lalu orang asing tersebut malah melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika mengunjungi Indonesia bahwa keadaan yang ada tidaklah begitu berbeda dari negara-negara seperti Thailand atau Norwegia dalam hal berbusana. Sudah mulai banyak majalah pria dewasa lokal yang beredar, ataupun acara tengah malam yang diklasifikan untuk konsumsi orang dewasa.
Dalam hal ini, siapapun yang memberikan anggapan bahwa berbikini pada ajang MU merupakan hal yang sudah melewati batas kebudayaan bangsa ini, perlu ditanyakan pula batasan mana yang orang tersebut maksudkan? Mungkin tidak perlu sampai kepada hal-hal yang khalayak anggap sebagai porno, contoh-contoh yang lebih moderat seperti pada tayangan televisi maupun lembar mode sebuah majalah misalnya, bisa terlihat banyaknya bintang sinetron, penyanyi, ataupun model fashion yang memperlihatkan setengah pahanya, sebagian belahan dadanya, ataupun pundak seksinya. Lantas untuk hal ini, siapakah yang berani berpendapat bahwa hal tersebut tidak melampaui moral dan budaya bangsa kita, dan berbikini di atas panggung Miss Universe adalah tidak lebih pantas dari seorang Bunga Citra Lestari di dalam video klipnya atau seorang Cut Tari saat membawakan program infotainment Insert? Dan juga untuk kompetisi di ajang internasional sendiri, apakah yang bisa memberikan penjelasan logis bahwasanya pemakaian one-piece lebih preferable dan acceptable ditengah kontroversi hebat terhadap penggunaan two-pieces? Untuk standar Islam, jelas semua contoh di atas, baik penyanyi maupun seorang Puteri Indonesia tentulah tidak bisa diterima karena menyalahi batas yang ada.
Tetapi jika hal ini disesuaikan dengan budaya masyarakat dan bangsa kita, bisa menjadi polemik yang tidak akan pernah selesai kelihatannya. Ditambah lagi, budaya itu sifatnya progresif. Ia akan ditentukan oleh dinamika dan pilihan hidup yang cenderung berubah. Jadi menurut saya kebudayaan bukan suatu hal yang sebenarnya patut untuk dijadikan acuan karena ia tidak stagnan. Panutan tetaplah tergantung kepada kebijaksanaan dari masyarakat dan negaranya sendiri untuk menentukan mana yang perlu dipertahankan dan mana yang perlu dibiarkan untuk kemudian akhirnya hilang ditelan jaman.
Khusus mengenai Aceh, jika ada aturan yang mengharuskan siapapun perwakilan dari provinsi tersebut di ajang Puteri Indonesia harus mengenakan jilbab, maka menurut saya lebih baik untuk tahun-tahun berikutnya NAD tidak usah sama sekali mengirimkan perwakilan. Mengapa? Karena pada prinsipnya, dengan kenyataan bahwa pemenang dari kontes ini akan dikirim ke ajang Miss Universe, beserta dengan diundangnya sang Miss Universe yang tengah menjabat untuk hadir pada malam grandfinal setiap tahunnya, maka dapat dikatakan bahwa siapapun yang berpartisipasi secara terbuka dalam kontes ini (termasuk juri, pejabat yang hadir, dan sponsor), secara sadar atau tidak sadar mereka mendukung keikuktsertaan Puteri Indonesia yang terpilih ke ajang Miss Universe tersebut.
Walau katakanlah dari diri perwakilan NAD itu sendiri tidak berharap untuk menempati posisi juara, atau seandainya menang pun lantas yang dikirim ke ajang MU adalah sang runner-up, bagaimanapun kemenangan tersebut akan kehilangan nilainya jika melihat dari keseriusan dan antusiasme pihak penyelenggara Puteri Indonesia terhadap MU yang semakin selaras dan menjadikannya panutan mengingat Miss Universe merupakan ajang yang levelnya lebih tinggi.
Kesimpulannya, tidaklah salah jika siapapun ingin berpendapat bahwa sebagai perempuan muslim seharusnya seorang Qory tidak meninggalkan kewajibannya menutup aurat, atau pandangan sebagai seorang Indonesia yang menilai bahwa ia seharusnya tidak menyalahi adat-adat ketimuran, atau juga sebagai seorang feminis-sosialis yang beranggapan bahwa kontes-kontes kecantikan seperti ini hanyalah bentuk eksploitasi terhadap kaum perempuan demi tujuan bisnis. Namun ketika bergelut dalam ruang diskusi publik, apalagi kalau sampai bertujuan untuk merubah jalan pihak yang diisukan tersebut, perlu lah kiranya supaya bangsa ini mempunyai kerangka berpikir yang lebih sistematis berikut dengan penyesuaian terhadap dinamika global, agar lebih mudah untuk kita bergerak dalam melakukan perubahan yang lebih baik dan lebih efisien kedepannya. Baik untuk pemerintah maupun masyarakat kiranya jangan sebatas tanggap terhadap sensasi, karena hal tersebut dapat mengikis kesadaran kita terhadap substansi dan mengenyampingkan problema yang sebenarnya mendasar.
Pada bangsa yang beraneka ragam ini, instrumen agama, instrumen negara, dan instrumen swasta agaknya mampu berdiri sendiri-sendiri. Bukan berarti ketiga aspek tidak bisa dicampur, namun dalam menyikapinya perlu ada pertimbangan yang tepat tanpa harus menggangu jalannya harmonisasi yang plural. Untuk itu, sudut pandang agama tidak bisa begitu saja dimaksukkan ke dalam hal yang berada di luar konteks agama. Ketika kita membicarakan jilbab atau perilaku seorang muslimah, maka hal tersebut tidak bisa menjadi bahan dasar dalam melihat suatu penyelenggaraan pihak swasta yang tidak ada lekatan otomatis terhadap instrumen agama. Bila memang ingin membicarakan jilbab dan masalah aurat pada wanita, maka hal tersebut sudah masuk kepada ranah agama. Tetapi untuk mencampurkannya ke dalam satu kasus seperti kontroversi Qory ini, memberi kesan terlalu terburu-buru karena secara umum pembahasan terhadap jilbab tentunya bukan hanya bisa disangkutpautkan pada seorang Qory semata.
Dan yang lebih mendasar adalah sebuah kontes kecantikan tentu saja sangat berada di luar dari kebudayaan Islam khususnya, jadi tidak perlu untuk berharap keduanya bisa disatukan. Dalam hal ini bukan berarti tidak ada jalan keluar dalam membuat kebijakan. Namun apapun aturan yang dikeluarkan, jangan sampai terdapat standarisasi ganda yang membuat proses pendewasaan bangsa dan negara ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar