Saat bergabung dengan perwakilan sejumlah komunitas memenuhi undangan komunitas Peta Hijau Jakarta untuk menikmati Taman Ayodya dan Taman Langsat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ternyata tidak semua orang mengetahui keberadaan taman-taman itu.
Taman Ayodya yang berada di antara Jalan Barito, Mahakam, dan Melawai, sekitar 1 kilometer sebelum kawasan Blok M, kurang terdengar gaung namanya meskipun sering dilewati. Terlebih Taman Langsat yang berada di balik deretan kios penjual burung, ikan hias, dan tanaman di kawasan Barito yang berhadapan dengan Rumah Sakit Pusat Pertamina.
”Banyak yang tidak tahu Taman Langsat di mana sehingga terpaksa janjian di Taman Ayodya dulu yang berjarak sekitar 500 meter dari sini. Itu pun sebagian orang ternyata tidak tahu Taman Ayodya di mana,” kata Koordinator Peta Hijau Jakarta Nirwono Joga di Taman Langsat, Sabtu (21/4).
Menurut Nirwono, ada 350 taman di Jakarta, tetapi tak banyak yang sadar akan keberadaannya. Warga lebih terbiasa bermain atau janjian bertemu teman, keluarga, dan relasi bisnis di mal. Jika suatu saat ada taman tergusur atau dialihfungsikan, jangan heran jika tidak ada reaksi keras dari masyarakat.
”Masyarakat tidak menyadari keberadaannya dan tidak ada rasa memiliki taman-taman itu,” katanya.
Padahal, menurut Nirwono yang kemarin meluncurkan buku ke delapannya berjudul Memetakan ”Hijau” Kota, taman seharusnya memiliki hubungan erat dengan masyarakat di sekitarnya. Taman sebagai ruang publik seharusnya mudah diakses masyarakat untuk berbagai kegiatan asalkan positif dan tidak terlalu bising sehingga tidak mengganggu orang lain, burung-burung, dan makhluk hidup lain di lingkungan hijau itu.
”Taman Langsat, misalnya, hanya buka pukul 0 7.00 hingga 17.00. Tiap kali ada kegiatan harus izin, termasuk memotret. Ini seharusnya dipermudah,” ujar Nirwono.
Bayar ratusan ribu
Hal sama dikeluhkan sekitar 30 anggota komunitas Moto Bebas yang akhir pekan lalu menyalurkan hobi memotret dengan membawa model ke Taman Langsat.
Oki, salah seorang anggota komunitas, mengatakan, Jumat lalu, temannya melakukan survei prakegiatan di Taman Langsat. Saat mengambil gambar dengan kameranya, petugas keamanan setempat menghampiri teman Oki itu dan bertanya apa keperluannya. Setelah bernegosiasi, komunitas Moto Bebas boleh beraktivitas pada hari Sabtu di taman itu dengan membayar Rp 500.000.
”Kata petugas keamanan, kalau mengurus izin sampai ke kantor atasannya bisa lebih mahal. Kami pilih bayar kepada petugas satpam saja karena kalau ke kantor tidak jelas juga kantor mana yang dituju,” lanjut Oki.
Di lokasi ruang publik lain, mereka juga mendapat pengalaman serupa. ”Kalau di Taman Menteng cukup memberi uang rokok saja kepada petugas sekitar Rp 50.000. Untuk Jakarta, Taman Langsat ini termasuk mahal,” ujarnya.
Penasaran, Kompas kemudian berpura-pura menjadi orang yang hendak melakukan kegiatan pemotretan di Taman Langsat.
Sebut saja Ujang, petugas keamanan Taman Langsat itu, ternyata menawarkan harga Rp 200.000 untuk satu paket kegiatan memotret dengan jumlah peserta 10 orang. Pilihan lain, mengurus izin sendiri ke dinas pertamanan bagian taman kota.
”Kalau tidak mau segitu ya serelanya saja,” kata Ujang.
Menurut dia, uang tersebut untuk kebersihan dan keamanan yang dibagi rata kepada semua petugas. Dia merujuk peraturan tentang izin penggunaan dan berkegiatan di taman sesuai ketentuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, dalam aturan yang terpampang di dinding kaca pos petugas keamanan itu tidak ditulis pengenaan tarif berkegiatan di taman kota.
Jadi, kegiatan apa saja yang harus mendapatkan izin?
”Kalau jalan kaki gak masalah. Yang kami takutkan kegiatan komersial. Nanti fotonya muncul di media massa. Kami ditegur pengawas,” kata Ujang.
Tetap kotor
Keterbatasan akses hingga praktik bayar ratusan ribu rupiah tanpa kejelasan penggunaan semakin menjauhkan taman dari masyarakat. Pengelolaan taman juga tak profesional mengingat banyak taman kota cenderung kotor. Tanaman dan jalur pejalan kaki juga tak terurus, penerangan kurang, dan banyak dihuni tunawiswa.
Di Taman Langsat, saat berjalan berkeliling, terlihat baju-baju dijemur di hamparan rumput. Sampah daun bertebaran atau teronggok di sudut-sudut taman. Sungai kecil yang mengaliri taman dan kolam-kolam di sekitarnya juga keruh. Keindahan bunga teratai yang bermekaran di kolam nyaris tertutup kondisi taman yang tak terawat itu.
Agus Subardono yang baru beberapa bulan menjabat Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta mengakui, memang diperlukan pengelolaan yang lebih profesional. Ia berharap dengan disahkannya rencana tata ruang wilayah 2010-2030 yang segera diikuti dengan pengesahan rencana detail tata ruang paling lama akhir tahun ini, keberadaan taman kota akan lebih berkualitas.
”Kegiatan seperti Peta Hijau Jakarta ini membuka mata masyarakat dan menjadi masukan amat baik bagi kami,” kata Agus. (LASTI KURNIA/NELI TRIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar