Lihatlah apa yang sedang terjadi di sekeliling kita sekarang. Fokuskan pada generasi muda, para remaja terutamanya. Kita akan melihat bahwa hampir keseluruhan dari mereka sekarang sedang mengidap demam Korea. Gejalanya mudah dilihat. Curi dengarlah perbincangan sehari-hari mereka. Apalagi kalau bukan seputar film terbaru aktor, aktris korea yang putih, tampan, cantik. Juga tentang lagu-lagu terbaru dariboyband, girlband Korea yang suka menari-nari itu.
Lalu lihatlah tingkah laku dan gaya mereka. Mereka sudah mengimitasi diri menjadi ke-korea-korea-an pula. Gaya rambut persis artis korea a, b, c yang sedang ngetop-ngetopnya. Baju mirip artis korea yang dilihat di drama terbaru.
Mereka lalu berpura-pura menjadi orang Korea. Mereka menghafal satu dua kata bahasa korea dan dengan bangga menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Maka jangan heran mendengar mereka berkata Kamsahamnida untuk berterima kasih, Anneyeong Haseyo untuk halo atau hai, chukae untuk selamat, Saranghaeyountuk aku cinta kamu dan Bogosipo untuk aku rindu kamu. Bagi mereka sekarang kata itu lebih gaul untuk digunakan. Bahasa Indonesia? Wah, sudah terlalu kuno untuk mereka.
Ada pula yang mulai mengganti nama mereka agar ‘berkesan Korea’. Mereka menambahkannya sebagai nama asli pada akun facebook atau jejaring sosial lain. Pada keseharian pun mereka menggunakan nama imitasi itu sebagai panggilan dengan sesama teman. Ada Ina Hyung Min, Gita Sinhye, Riri Hyeong dan apalagi lagilah sekreatif mereka. Semakin berkesan korea nama yang digunakan, maka semakin keren dan gaul si pemilik nama.
Apa itu sebenarnya demam Korea? Apalagi kalau bukan penyebaran budaya pop Korea yang tahun-tahun terakhir menyebar luas melalui produk hiburan, drama, lagu dan film. Sebenarnya bukan saja di Indonesia, penyebaran budaya pop Korea terjadi hampir di seluruh Negara di Asia. Bahkan juga di negeri Paman Sam, Amerika. Secara internasional dikenal dengan Korean Wave atau dalam bahasa Korea, Hallyu.
Awalnya mereka yang terjangkit demam ini mengagumi produk hiburan itu lalu mempelajari budaya pop korea dan bahasa korea. Hingga perlahan sebagaian dari mereka mengimitasi budaya pop korea sebagai identitas diri.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan menikmati karya seni atau produk hiburan dari Negara lain. Tapi jika sudah merasuk hingga begitu jauh, lalu memburamkan identitas yang sebenarnya, membuat lupa bahwa identitas sebenarnya adalah orang Indonesia (dengan semua budaya, etika dan normanya), bukan orang Korea maka bisa jadi demam Korea di Indonesia ini tak cukup dilihat hanya sebagai euphoria belaka.
Bagaimana jika proses pengimitasian diri menjadi ke-korea-korea-an ini terus belanjut. Bukankah malah akan menyingkirkan identitas sebenarnya generasi muda Indonesia? Bagaimana jika mereka bahkan akan lebih mengenal Korea dibanding negara sendiri. Lalu lebih mencintai (baca : tertarik, ingin menjadi bagian, ingin memiliki) Korea dibanding negara sendiri? Kalau sudah begini bagaimana usaha pembentukan karakter generasi yang benar-benar meng-Indonesia dalam artian mencintai budaya Indonesia, memiliki kecintaan dan kebanggaan pada Indonesia akan menuai hasil? Toh, ternyata budaya pop Korea ini lebih gencar disebarluaskan.
Ancaman budaya asing, budaya pop terutamanya memang bukan hal baru. Budaya pop Amerika telah lebih dulu merasuk dan mengaburkan identitas generasi. Seakan belum cukup dengan budaya pop Amerika yang menjadi tantangan untuk eksistensi identitas dan budaya Indonesia pada generasi muda. Sekarang sudah ditambah pula dengan budaya pop Korea. Apalagi sejatinya budaya pop memang cenderung lebih mudah diserap dan diadaptasikan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya pop yang sebenarnya hanyalah budaya massa hasil bentukan industri (hiburan, produk) sangat kapitalistik. Digencarkan sedemikian rupa, sangat merayu dan persuasif untuk ditiru dan dicintai.
Jika sudah begini akan sangat mungkin budaya Indonesia akan menjadi budaya yang marginal, tersingkir di rumah sendiri. Bagaimana Indonesia bisa bertahan dengan identitas asli. Bisa-bisa ia menjadi negara dengan identitas asing nantinya. Mungkin saja kan? Bagaimana pula upaya mempertahankan identitas asli dan pelestarian budaya Indonesia bisa dilakukan nantinya oleh generasi yang lebih tertarik pada budaya dan identitas lain?
Memang, amatlah sulit untuk menghindari atau menyingkir dari gempuran budaya pop apalagi di era globalisasi yang menghanguskan batas ruang dan waktu. Belum lagi demam ini semakin ‘memanas’ dengan keberadaan industri hiburan Indonesia juga ikut-ikutan terjangkit demam. Industri hiburan di Indonesia sekarang malah ‘aji mumpung’. Mereka memanfaatkan momen demam Korea untung mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka bukan sekedar menampilkan drama Korea saja. Tapi malah program-program lain yang ikut membantu proses pengimitasian identitas generasi muda menjadi ke-korea-koreaan. Beberapa program menampilkan bagaimana sekelompok anak muda Indonesia menjadi sangat Korea, meniru-niru alias memplagiat gaya artis korea. Sebuah proses pengimitasian yang dipertontonkan secara nyata, sangat merayu, persuasif dan menghipnotis sekian banyak generasi muda yang menonton untuk ikut mengimitasi identitas.
Pada kondisi inilah, seharusnya implementasi pendidikan karakter, penguatan identitas asli Indonesia, regenerasi untuk melestarikan budaya Indonesia perlu diperkuat. Bukan hanya melalui program pemerintah. Bukan hanya melalui dinas terkait, seperti dinas kebudayaan dan pendidikan atau dinas pariwisata saja. Tapi semua elemen.
Jika melalui jalur pendidikan pendekatan yang komprehensif setidaknya bisa dilakukan dengan semua aspek sebagai peluang untuk pengembangan karakter, hidden curriculum dan academic curriculum. Hidden curriculum meliputi upacara dan prosedur sekolah, keteladanan guru, hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri, proses pembelajaran, keanekaragaman siswa, penilaian pembelajaran, pengelolaan lingkungan sekolah, kebijakan disiplin. Academic curriculum berarti mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani dan program-program ekstrakurikuler (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).
Tapi itu tidak cukup, terkadang jalur hiburan malah lebih efektif untuk menguatkan identitas asli dan menyebarluaskan kecintaan. Setidaknya pelaku dunia hiburan bisa memilih untuk mengembangkan program, menyuguhkan karya yang menguatkan Indonesia, bukan malah mengimitasi dan meniru budaya luar. Setidaknya langkah film Cinta yang kembali mempopulerkan puisi-puisi Chairil Anwar (‘Aku’) kembali adalah yang patut diacungi jempol. Juga Laskar Pelangi yang telah menumbuhkan ketertarikan pada wisata Belitung. Begitu pula dengan grup band Cokelat yang membuat lagu bertema Nasionalisme yang disukai generasi muda. Upaya-upaya seperti ini walaupun tak bisa menjadi perisai seutuhnya, cukuplah menjadi penyimbang agar patah karena terlalu berat sebelah kepada yang ‘asing’.
Virus budaya kontemporer Hallyu yang mengakibatkan “demam Korea” sudah menginfeksi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Ratusan judul drama, musik pop, serial, film, video game, hingga B-Boy berbau Korea diputar dan dipertontonkan di layar televisi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Hal itu mendorong lahirnya sebuah fenomena fanatisme di mana para pesohor dari negeri ginseng tersebut menjadi kiblat dalam berperilaku bagi remaja dan generasi muda di Tanah Air.
Tidak sedikit dari mereka yang rela melancong ke negeri yang berada di Semenanjung Asia Timur itu hanya untuk menonton konser artis idola dan berbelanja pernak-pernik berlabel “made in Korea”.
Menyebarnya budaya kontemporer Korea dalam tren “Korean Wave” bagi negeri asal Kimchi itu memang mendatangkan berkah tersendiri khususnya bagi total pendapatan negara yang sedang beranjak menyaingi Jepang sebagai salah satu macan Asia yang disegani.
Daya tarik yang dibangun dari basis kreativitas para pesohornya menjadikan negara itu memiliki potensi pendapatan baru khususnya dari sektor pariwisata hingga bisnis ikutannya.
Ketua Indonesia Dynamic Korea (IDK), Lucy Gultom, mengatakan, Korea sekaligus budaya di dalamnya memiliki daya tarik yang luar biasa yang mengakibatkan jumlah pecinta dan pemerhatinya bertambah dari waktu ke waktu.
“Mengapa banyak orang tertarik pada Korea?. Karena Korea itu unik dalam berbagai sisinya termasuk kebudayaan, kuliner, hingga pariwisatanya,” kata salah satu pendiri IDK yang mendefinisikan diri sebagai Komunitas Pemerhati Kebudayaan Korea di Indonesia yang didirikan sejak 2006 itu.
Sampai detik ini Korea Selatan dengan empat musim yang menyelimutinya menjadi ambisi dan kiblat bagi jutaan pecintanya di Indonesia.
Namun sayangnya, Indonesia sendiri belum terlampau populer di negara yang beribu kota di Seoul itu.
Masih Asing
Warga Korsel yang tinggal di kawasan Myong-dong Seoul, Junghoon Jun, mengatakan, nama Indonesia masih asing bagi lebih banyak masyarakat di Korea Selatan.
Mereka lebih mengenal Singapura atau Thailand ketimbang negara-negara di selatannya.
Itu sekaligus menunjukkan masih sedikit masyarakat Korsel yang mengenal Indonesia sebagai daerah kunjungan wisata.
“Memang banyak yang sudah berbulan madu ke Bali, tapi lebih banyak yang belum tahu tentang Indonesia,” kata pria yang berprofesi sebagai National Director untuk model dan artis di negara itu.
Junghoon yang memilih dipanggil Ricky itu mengaku pernah mengunjungi Indonesia akhir tahun lalu yakni ke Jakarta dan Bandung untuk sebuah acara bisnis.
“Itu kunjungan yang berkesan bagi saya, kami di Korea sebelumnya hanya mengenal Bali ternyata ada kota lain yang juga cantik yaitu Bandung. Saya tidak suka Jakarta karena keadaannya nyaris sama dengan Seoul yang kerap macet,” katanya.
Pengakuan Junghoon menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk tidak hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar budaya pop Korea tetapi juga sekaligus menjadi penggempur pasar wisata negara dengan mata uang Won tersebut.
Kesenjangan dalam barter pasar yang mendatangkan pendapatan negara masih belum seimbang diukur dari indikator popularitas nama negara di mana nama Korea lebih dikenal di Tanah Air ketimbang sebaliknya.
Potensial
Di luar semua itu, Korsel dinilai potensial untuk menyumbang lebih banyak wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia.
Direktur Sarana Promosi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), Esthy Reko Astuti, mengatakan, Korsel merupakan salah satu target market yang potensial.
“Korsel salah satu target market yang potensial yang memberikan “share” terhadap perolehan target kunjungan wisman yang signifikan,” kata Esthy.
Dari tahun ke tahun jumlah wisman asal negeri di Semenanjung Asia Timur itu yang melancong ke Indonesia terus bertambah.
Pada 2010 ,jumlah wisman Korsel mencapai 275.999 orang dengan total pendapatan 251,05 juta dolar AS. Sementara pada 2011, angka itu ditargetkan melonjak hingga 360.000 orang.
Tercatat dalam periode Januari-Agustus 2011 jumlah wisman Korea yang datang ke Indonesia telah mencapai 270.808 orang. Angka itu sekaligus menjadikan Korsel sebagai negara keempat tahun ini yang memberikan kontribusi jumlah wisman ke Indonesia terbanyak setelah Singapura, Malaysia, dan Jepang.
Ia mengatakan, negara asal “Winter Sonata” itu memiliki karakter pasar dengan minat terutama pada produk-produk atau paket wisata honeymoon, golf, dan leisure yang sangat pas dengan segmen pasar Indonesia.
Menurut dia, Indonesia memiliki daya tarik yang lebih dalam hal destinasi wisata untuk bulan madu, golf, ataupun leisure dibandingkan negara kompetitor di kawasan Asia Tenggara yang lain. “Produk-produk tersebut di Indonesia sangat “wonderful”, kompetitif, dan ’affordable’,” katanya.
Korsel juga dinilai tidak termasuk negara yang terdampak resesi global secara signifikan seperti halnya Jepang.
Mempertimbangkan berbagai potensi tersebut, pihaknya bertekad akan lebih intensif dan serius menggarap pasar Korsel yang selama ini menjadi 10 besar negara penyumbang wisman utama ke Indonesia.
“Kami akan lebih intensif dan serius menggarap pasar tersebut, salah satunya dengan menunjuk kembali VITO Korsel (Visit Indonesia Tourism Officer),” katanya.
Pihaknya juga telah dan sedang menggelar berbagai kegiatan promosi pariwisata di negara itu. Beberapa acara tersebut di antaranya sales mission di Seoul-Busan-Jeju pada Mei-Juni 2011, berpartisipasi dalam bursa pariwisata Kofta di Seoul pada Juni 2011, Festival Indonesia sebagai promosi on Niche Market di Asea meliputi Korea-China-Jepang pada Agustus 2011, hingga bursa pariwisata Busan International Travel Fair (BITF) di Busan pada September 2011.
Esthy menambahkan, acara tersebut belum termasuk sejumlah kegiatan yang menggandeng sektor industri.
Namun Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) justru menyatakan sebaliknya di mana sampai saat ini mereka masih merasakan banyak kendala dan kesulitan dalam menggarap pasar wisata Korea Selatan.
“Korsel boleh jadi memang potensial tapi kami belum mampu optimal menggarap pasar itu karena mereka cenderung memiliki budaya kerja yang sangat tinggi,” kata Ketua Bidang Humas Asita Chapter DKI Jakarta, Jongky Adiyasa.
Jongky mengatakan dibandingkan dengan Jepang, masyarakat Korsel cenderung belum terlampau tertarik untuk melakukan perjalanan termasuk melancong ke Indonesia.
Menurut dia, belum banyak masyarakat Korsel yang tertarik atau bahkan tahu tentang Indonesia karena sebagian besar dari mereka cenderung memilih liburan ke Amerika Serikat dan Eropa.
“Ini menunjukkan potensi Korsel belum bisa mengalahkan potensi Jepang yang warganya sudah memiliki budaya bahwa liburan adalah hal penting kedua setelah makan,” katanya.
Sedangkan Korsel sampai saat ini belum memiliki kecenderungan untuk itu meskipun sudah mulai ada turis Korsel berwisata ke Indonesia khususnya ke Bali.
Jongky meminta pemerintah untuk mendukung sektor swasta melakukan promosi yang lebih gencar di pasar Korsel.
“Business to business harus diperkuat dan promosi harus digencarkan kalau tidak ingin kalah dengan negara-negara kompetitor kita yang lain,” katanya.
Itu semua agar terjadi tukar-menukar yang lebih seimbang antara drama sealiran Winter Sonata dengan kecantikan destinasi nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar